Pages

Sunday 17 February 2013

Nanga Raun


Nanga Raun, tak banyak yang mengenal desa terpencil di pedalaman Kalimantan ini. Mungkin hanya mereka yang mendalami sejarah dan antropologi yang akrab dengan desa yang dihuni mayoritas etnis Dayak Orung Da’an ini. Bahwa desa yang pernah menyimpan sejarah rumah panjang suku Dayak yang terpanjang di Kalimantan itu, tak banyak pula orang yang tahu. Anton Willem Nieuwenhuis, seorang dokter yang berdinas pada Tentara Hindia Belanda mencatatnya di tahun 1894. Nieuwenhuis bukan hanya seorang dokter Tentara Hindia Belanda, melainkan juga seorang peneliti antropologi dan etnografi yang di kemudian hari melakukan tiga ekspedisi besar menyusuri sungai Mahakam. Dua bulan ia berdiam di Nanga Raun untuk melakukan penelitian etno-sosiologis, salah satu sub penelitian eksplorasi ilmiah Borneo Tengah yang digagas oleh Maatschappij ter bevordering van het natuurkundig onderzoek der Nederlandsche Kolonien [Perhimpunan untuk Memajukan Penelitian Alam di Koloni-koloni Belanda] di Amsterdam. Selain Nieuwenhuis, ekspedisi pertama ini diikuti oleh Johann Buttikofer yang juga meneliti etno-sosiologis, Hallier, dan GAF Molengraaff yang melakukan survey geologi. Pemimpin ekspedisi adalah Kontrolir Kapuas Hulu van Velthuysen. Ekspedisi ini juga terdiri atas 19 prajurit Hindia Belanda, 5 kuli Melayu, 8 orang Iban Batang Lupar selaku pembantu khusus kontrolir dan 85 orang Dayak Kayan dari Sungai Mendalam sebagai awak perahu dan pemikul barang. Di ekspedisi kedua dan ketiga susunan anggota ekspedisi berubah-ubah. Ekspedisi-ekspedisi ini menghasilkan peta-peta akurat, yang merupakan keahlian kartografer bangsa Belanda, kajian-kajian linguistik, dan khasanah informasi etnografi dan sejarah mengenai suku Dayak setempat. Bisa dikatakan, Nieuwenhuis dan ekspedisi-ekspedisinya berjasa besar kepada dunia antropologi mengenai suku Dayak di Kalimantan.
Sumber foto:  www.hellenicaworld.com

Satu abad kemudian tak ada lagi rumah panjang terpanjang di Nanga Raun seperti yang dicatat oleh ekspedisi Nieuwenhuis. Rumah itu hanya menyisakan bekas-bekas kayu yang terbakar. Seperti yang termuat dalam artikel Reynold Sumayku di Life & Natural History, rumah panjang tersebut terbakar di tahun 1964. Amarah salah satu warga menyebabkan dirinya gelap mata dan membakar salah satu bilik yang dengan cepat menjalar ke bilik lain. Kini tak ada lagi rumah panjang disana. Rumah penduduk sekarang dibangun terpisah tiap keluarga.
Akses menuju desa ini cukup berliku. Jika perjalanan dimulai dari Pontianak, ibukota provinsi Kalimantan Barat, waktu tempuh yang diperlukan menuju Putussibau, ibukota kabupaten Kapuas Hulu adalah 1 jam perjalanan jika memakai pesawat. Jika betah duduk berlama-lama, transportasi darat menyediakan bis dan taksi, -yang disebut taksi disini adalah kendaraan minivan-, sebab waktu tempuh akan berlangsung selama 16 jam. Setiba di Putussibau, perjalanan dilanjutkan menuju Nanga Kalis, ibukota kecamatan Kalis, selama 2 jam, lalu dilanjut menghiliri Sungai Manday selama 1-1,5 jam. Setelah perjalanan berjam-jam itu barulah kita sampai ke desa Nanga Raun. Bagi yang mau melanjutkan perjalanan menuju gua-gua di perbukitan kaki Pegunungan Muller, sediakan waktu sehari lagi untuk berjalan kaki, sebab tak ada kendaraan yang bisa melewati jalan menuju lokasi gua.
Susahnya akses menuju desa ini justru memacu semangat kami untuk bertukar cerita dengan penduduk Nanga Raun. Tak ada keinginan muluk untuk mengulangi ekspedisi Nieuwenhuis, kami hanya ingin mendengar cerita tentang penduduk langsung dari mereka sendiri. Penelitian etnofotografi yang akan kami lakukan hanya akan menangkap pendapat mereka, terkait perubahan jaman yang menyebabkan mulai terbukanya akses menuju desa Nanga Raun. Baik dan buruk pengaruh dari luar desa tentu akan terbawa seiring mudahnya akses menuju desa. Bagaimana penduduk menyikapinya, itulah yang penting bagi kami.
Sumber tulisan:
http://pustaka45.blogspot.com
http://reynoldsumayku.com/
 

No comments:

Post a Comment