Pages

Thursday 10 January 2013

Sekali lagi, kenapa etnofotografi

Foto: Ekspedisi Bahau Mapagama 1993

“Dibalik yang nampak dari sebuah foto, kita perlu menyadari bahwa secara bersamaan ada yang tak nampak disana. Yang tak nampak dan tak terlihat itulah yang sebenarnya membuat sesuatu jadi terlihat.”

                Begitulah Maurice Merleau-Ponty, seorang phenomenological philosopher dari Perancis pernah berkata. Pernyataan itu memang membingungkan sekaligus menggugah rasa ingin tahu. Entah bagaimana sesuatu yang tak nampak dapat membuat sesuatu yang lain jadi terlihat.
                Ilmu sosial kontemporer, yang mulai marak sekitar tahun 1970-an dapat menjelaskan hal itu. Awal mulanya seni fotografi hanya dianggap seni kelas 2 dan ditujukan salah satunya untuk seni lukis. Perkembangannya fotografi akhirnya mendapat kedudukan penting karena dapat menjelaskan suatu peristiwa dengan gambar. Etnografi yang haus akan penggambaran deskriptif akhirnya menggunakan fotografi untuk membantu penggambaran objek penelitian. Itulah ketika etnografi visual mulai muncul dan menjadi turunan dalam etnografi. Etnofotografi sendiri adalah salah satu bentuk dalam etnografi visual.
                Ketika seseorang memotret, pilihan atas apa yang dipotret merupakan suatu konstruksi budaya, yang terbuktikan dari apa yang tidak dipotretnya. Konstruksi itu merupakan suatu pembacaan atas peristiwa, yang intuitif dan berlangsung cepat sekali, memutuskan dengan segera pilihan atas obyeknya. Pilihan ini akan sangat ditentukan oleh situasi sosial dan kehidupan pemotret, yang merupakan suatu argumen, suatu pengalaman, suatu cara menjelaskan dunia (Ajidarma, 2001). Dari penjelasan panjang Seno Gumira Ajidarma tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa pemotret merupakan sosok penting dan berkuasa dalam menghasilkan foto. Dia dapat menentukan mana yang hendak ia abadikan dengan foto dan mana yang tidak. Subyektifitasnya dalam menentukan hal tersebut ditentukan oleh situasi sosial dan kehidupannya, dan karena itu foto yang dihasilkannya bersifat ekslusif, karena hanya menjelaskan apa yang sebenarnya ada di pikiran si pemotret ketika mengambil foto tersebut. 
                Kembali ke soal ilmu sosial kontemporer yang dapat menjelaskan pernyataan Merleau-Ponty, tahun 1970-an adalah tahun ketika tatanan dunia etnofotografi yang ekslusif “digugat” oleh para pemikir yang terpengaruh tradisi Marx, yang lebih menekankan kepada pentingnya kaum marjinal. Dalam dunia etnofotografi sendiri mulai dilakukan pendekatan lain dalam pengambilan data. Media yang digunakan tetap foto, tetapi pendekatan dalam penelitian subyek tidak lagi menggunakan tradisi deskriptif, yaitu tradisi yang memberi kuasa penuh kepada pemotret untuk mengambil foto dan menjelaskan foto tersebut, tetapi menggunakan tradisi Marxian, yang menganggap suara dari subyek yang difoto lebih penting dari suara pemotret sendiri. Pada akhirnya, merekalah yang menjelaskan diri dan lingkungan mereka sendiri. Metodologi yang sering digunakan dalam etnofotografi tradisi Marxian adalah Foto Sebagai Agensi. Prakteknya seperti ini: pemotret memotret dan foto yang dihasilkan digunakan sebagai pemicu obyek untuk menceritakan dirinya dan lingkungannya. Pemotretnya bisa siapa saja, peneliti ataupun obyek yang diteliti. Foto adalah stimulan untuk Spectator (Pemandang foto). Dari foto itulah diharapkan mengalir cerita-cerita yang mengendap di ingatan Pemandang foto.
                Dalam sebuah foto terdapat studium dan punctum. Adapun studium adalah suatu kesan keseluruhan yang akan mendorong seorang Pemandang segera memutuskan sebuah foto bersifat politis atau historis, indah dan tak-indah, yang sekaligus juga mengakibatkan reaksi suka atau tidak suka. Semua ini terletak dalam aspek studium sebuah foto, aspek yang membungkus sebuah foto secara menyeluruh. Sebaliknya adalah punctum, yakni fakta terinci dalam sebuah foto yang menarik dan menuntut perhatian Pemandang, ketika memandangnya secara kritis, tanpa mempedulikan studium, selain memang karena punctum ini akan menyeruak studium. Dalam punctum itulah terjelaskan mengapa seseorang terus menerus memandang atau mengingat sebuah foto (Kisah Mata, 2001).
                Dalam etnofotografi tradisi Marxian, punctum inilah yang hendak dicapai oleh peneliti. Rincian cerita yang hendak dipancing keluar karena melihat foto. Dari punctum itu, diharapkan cerita yang tak ada dalam foto dapat terpicu keluar. Itulah ketika yang tak nampak dan tak terlihat membuat sesuatu jadi terlihat.
                Berhubungan dengan penelitian kami sendiri, yaitu etnofotografi Dayak Orung Da’an dan Dayak Suru’, metodologi Foto Sebagai Agensi ini akan kami gunakan untuk mendapatkan cerita-cerita tentang diri mereka, dan bagaimana mereka menjelaskan diri dan lingkungan mereka sendiri. Timeline yang kami gunakan adalah kehidupan masyarakat Dayak Orung Da’an dan Dayak Suru’ sebelum dan sesudah adanya jalan darat yang dibuka oleh perusahaan HPH. Hal ini menarik, karena sebelum ada jalan darat, praktis sungai adalah sarana transportasi satu-satunya. Bagaimana kemudian jalan darat merubah pola hidup mereka, positif maupun negatif.
                Prakteknya, kami akan melakukan observasi partisipatif, yaitu ikut serta dalam kegiatan sehari-hari responden dan sekaligus memotret mereka. Dari foto-foto yang dihasilkan kemudian dipilih beberapa foto yang akan digunakan sebagai agensi dalam mendapatkan data. Responden memilih satu foto, dan dari foto itu digali cerita yang nampak dan tak nampak dalam foto, seperti kenapa responden memilih foto itu dan kenapa responden tidak memilih foto yang lain.
                Harapan kami, hasil penelitian ini dapat mengungkapkan suara-suara dari masyarakat Dayak Orung Da’an dan Dayak Suru’, dan bisa jadi pertimbangan dalam kebijakan pembangunan. 

No comments:

Post a Comment