Pages

Sunday 17 February 2013

Nanga Raun


Nanga Raun, tak banyak yang mengenal desa terpencil di pedalaman Kalimantan ini. Mungkin hanya mereka yang mendalami sejarah dan antropologi yang akrab dengan desa yang dihuni mayoritas etnis Dayak Orung Da’an ini. Bahwa desa yang pernah menyimpan sejarah rumah panjang suku Dayak yang terpanjang di Kalimantan itu, tak banyak pula orang yang tahu. Anton Willem Nieuwenhuis, seorang dokter yang berdinas pada Tentara Hindia Belanda mencatatnya di tahun 1894. Nieuwenhuis bukan hanya seorang dokter Tentara Hindia Belanda, melainkan juga seorang peneliti antropologi dan etnografi yang di kemudian hari melakukan tiga ekspedisi besar menyusuri sungai Mahakam. Dua bulan ia berdiam di Nanga Raun untuk melakukan penelitian etno-sosiologis, salah satu sub penelitian eksplorasi ilmiah Borneo Tengah yang digagas oleh Maatschappij ter bevordering van het natuurkundig onderzoek der Nederlandsche Kolonien [Perhimpunan untuk Memajukan Penelitian Alam di Koloni-koloni Belanda] di Amsterdam. Selain Nieuwenhuis, ekspedisi pertama ini diikuti oleh Johann Buttikofer yang juga meneliti etno-sosiologis, Hallier, dan GAF Molengraaff yang melakukan survey geologi. Pemimpin ekspedisi adalah Kontrolir Kapuas Hulu van Velthuysen. Ekspedisi ini juga terdiri atas 19 prajurit Hindia Belanda, 5 kuli Melayu, 8 orang Iban Batang Lupar selaku pembantu khusus kontrolir dan 85 orang Dayak Kayan dari Sungai Mendalam sebagai awak perahu dan pemikul barang. Di ekspedisi kedua dan ketiga susunan anggota ekspedisi berubah-ubah. Ekspedisi-ekspedisi ini menghasilkan peta-peta akurat, yang merupakan keahlian kartografer bangsa Belanda, kajian-kajian linguistik, dan khasanah informasi etnografi dan sejarah mengenai suku Dayak setempat. Bisa dikatakan, Nieuwenhuis dan ekspedisi-ekspedisinya berjasa besar kepada dunia antropologi mengenai suku Dayak di Kalimantan.
Sumber foto:  www.hellenicaworld.com

Satu abad kemudian tak ada lagi rumah panjang terpanjang di Nanga Raun seperti yang dicatat oleh ekspedisi Nieuwenhuis. Rumah itu hanya menyisakan bekas-bekas kayu yang terbakar. Seperti yang termuat dalam artikel Reynold Sumayku di Life & Natural History, rumah panjang tersebut terbakar di tahun 1964. Amarah salah satu warga menyebabkan dirinya gelap mata dan membakar salah satu bilik yang dengan cepat menjalar ke bilik lain. Kini tak ada lagi rumah panjang disana. Rumah penduduk sekarang dibangun terpisah tiap keluarga.
Akses menuju desa ini cukup berliku. Jika perjalanan dimulai dari Pontianak, ibukota provinsi Kalimantan Barat, waktu tempuh yang diperlukan menuju Putussibau, ibukota kabupaten Kapuas Hulu adalah 1 jam perjalanan jika memakai pesawat. Jika betah duduk berlama-lama, transportasi darat menyediakan bis dan taksi, -yang disebut taksi disini adalah kendaraan minivan-, sebab waktu tempuh akan berlangsung selama 16 jam. Setiba di Putussibau, perjalanan dilanjutkan menuju Nanga Kalis, ibukota kecamatan Kalis, selama 2 jam, lalu dilanjut menghiliri Sungai Manday selama 1-1,5 jam. Setelah perjalanan berjam-jam itu barulah kita sampai ke desa Nanga Raun. Bagi yang mau melanjutkan perjalanan menuju gua-gua di perbukitan kaki Pegunungan Muller, sediakan waktu sehari lagi untuk berjalan kaki, sebab tak ada kendaraan yang bisa melewati jalan menuju lokasi gua.
Susahnya akses menuju desa ini justru memacu semangat kami untuk bertukar cerita dengan penduduk Nanga Raun. Tak ada keinginan muluk untuk mengulangi ekspedisi Nieuwenhuis, kami hanya ingin mendengar cerita tentang penduduk langsung dari mereka sendiri. Penelitian etnofotografi yang akan kami lakukan hanya akan menangkap pendapat mereka, terkait perubahan jaman yang menyebabkan mulai terbukanya akses menuju desa Nanga Raun. Baik dan buruk pengaruh dari luar desa tentu akan terbawa seiring mudahnya akses menuju desa. Bagaimana penduduk menyikapinya, itulah yang penting bagi kami.
Sumber tulisan:
http://pustaka45.blogspot.com
http://reynoldsumayku.com/
 

Thursday 10 January 2013

Sekali lagi, kenapa etnofotografi

Foto: Ekspedisi Bahau Mapagama 1993

“Dibalik yang nampak dari sebuah foto, kita perlu menyadari bahwa secara bersamaan ada yang tak nampak disana. Yang tak nampak dan tak terlihat itulah yang sebenarnya membuat sesuatu jadi terlihat.”

                Begitulah Maurice Merleau-Ponty, seorang phenomenological philosopher dari Perancis pernah berkata. Pernyataan itu memang membingungkan sekaligus menggugah rasa ingin tahu. Entah bagaimana sesuatu yang tak nampak dapat membuat sesuatu yang lain jadi terlihat.
                Ilmu sosial kontemporer, yang mulai marak sekitar tahun 1970-an dapat menjelaskan hal itu. Awal mulanya seni fotografi hanya dianggap seni kelas 2 dan ditujukan salah satunya untuk seni lukis. Perkembangannya fotografi akhirnya mendapat kedudukan penting karena dapat menjelaskan suatu peristiwa dengan gambar. Etnografi yang haus akan penggambaran deskriptif akhirnya menggunakan fotografi untuk membantu penggambaran objek penelitian. Itulah ketika etnografi visual mulai muncul dan menjadi turunan dalam etnografi. Etnofotografi sendiri adalah salah satu bentuk dalam etnografi visual.
                Ketika seseorang memotret, pilihan atas apa yang dipotret merupakan suatu konstruksi budaya, yang terbuktikan dari apa yang tidak dipotretnya. Konstruksi itu merupakan suatu pembacaan atas peristiwa, yang intuitif dan berlangsung cepat sekali, memutuskan dengan segera pilihan atas obyeknya. Pilihan ini akan sangat ditentukan oleh situasi sosial dan kehidupan pemotret, yang merupakan suatu argumen, suatu pengalaman, suatu cara menjelaskan dunia (Ajidarma, 2001). Dari penjelasan panjang Seno Gumira Ajidarma tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa pemotret merupakan sosok penting dan berkuasa dalam menghasilkan foto. Dia dapat menentukan mana yang hendak ia abadikan dengan foto dan mana yang tidak. Subyektifitasnya dalam menentukan hal tersebut ditentukan oleh situasi sosial dan kehidupannya, dan karena itu foto yang dihasilkannya bersifat ekslusif, karena hanya menjelaskan apa yang sebenarnya ada di pikiran si pemotret ketika mengambil foto tersebut. 
                Kembali ke soal ilmu sosial kontemporer yang dapat menjelaskan pernyataan Merleau-Ponty, tahun 1970-an adalah tahun ketika tatanan dunia etnofotografi yang ekslusif “digugat” oleh para pemikir yang terpengaruh tradisi Marx, yang lebih menekankan kepada pentingnya kaum marjinal. Dalam dunia etnofotografi sendiri mulai dilakukan pendekatan lain dalam pengambilan data. Media yang digunakan tetap foto, tetapi pendekatan dalam penelitian subyek tidak lagi menggunakan tradisi deskriptif, yaitu tradisi yang memberi kuasa penuh kepada pemotret untuk mengambil foto dan menjelaskan foto tersebut, tetapi menggunakan tradisi Marxian, yang menganggap suara dari subyek yang difoto lebih penting dari suara pemotret sendiri. Pada akhirnya, merekalah yang menjelaskan diri dan lingkungan mereka sendiri. Metodologi yang sering digunakan dalam etnofotografi tradisi Marxian adalah Foto Sebagai Agensi. Prakteknya seperti ini: pemotret memotret dan foto yang dihasilkan digunakan sebagai pemicu obyek untuk menceritakan dirinya dan lingkungannya. Pemotretnya bisa siapa saja, peneliti ataupun obyek yang diteliti. Foto adalah stimulan untuk Spectator (Pemandang foto). Dari foto itulah diharapkan mengalir cerita-cerita yang mengendap di ingatan Pemandang foto.
                Dalam sebuah foto terdapat studium dan punctum. Adapun studium adalah suatu kesan keseluruhan yang akan mendorong seorang Pemandang segera memutuskan sebuah foto bersifat politis atau historis, indah dan tak-indah, yang sekaligus juga mengakibatkan reaksi suka atau tidak suka. Semua ini terletak dalam aspek studium sebuah foto, aspek yang membungkus sebuah foto secara menyeluruh. Sebaliknya adalah punctum, yakni fakta terinci dalam sebuah foto yang menarik dan menuntut perhatian Pemandang, ketika memandangnya secara kritis, tanpa mempedulikan studium, selain memang karena punctum ini akan menyeruak studium. Dalam punctum itulah terjelaskan mengapa seseorang terus menerus memandang atau mengingat sebuah foto (Kisah Mata, 2001).
                Dalam etnofotografi tradisi Marxian, punctum inilah yang hendak dicapai oleh peneliti. Rincian cerita yang hendak dipancing keluar karena melihat foto. Dari punctum itu, diharapkan cerita yang tak ada dalam foto dapat terpicu keluar. Itulah ketika yang tak nampak dan tak terlihat membuat sesuatu jadi terlihat.
                Berhubungan dengan penelitian kami sendiri, yaitu etnofotografi Dayak Orung Da’an dan Dayak Suru’, metodologi Foto Sebagai Agensi ini akan kami gunakan untuk mendapatkan cerita-cerita tentang diri mereka, dan bagaimana mereka menjelaskan diri dan lingkungan mereka sendiri. Timeline yang kami gunakan adalah kehidupan masyarakat Dayak Orung Da’an dan Dayak Suru’ sebelum dan sesudah adanya jalan darat yang dibuka oleh perusahaan HPH. Hal ini menarik, karena sebelum ada jalan darat, praktis sungai adalah sarana transportasi satu-satunya. Bagaimana kemudian jalan darat merubah pola hidup mereka, positif maupun negatif.
                Prakteknya, kami akan melakukan observasi partisipatif, yaitu ikut serta dalam kegiatan sehari-hari responden dan sekaligus memotret mereka. Dari foto-foto yang dihasilkan kemudian dipilih beberapa foto yang akan digunakan sebagai agensi dalam mendapatkan data. Responden memilih satu foto, dan dari foto itu digali cerita yang nampak dan tak nampak dalam foto, seperti kenapa responden memilih foto itu dan kenapa responden tidak memilih foto yang lain.
                Harapan kami, hasil penelitian ini dapat mengungkapkan suara-suara dari masyarakat Dayak Orung Da’an dan Dayak Suru’, dan bisa jadi pertimbangan dalam kebijakan pembangunan. 

Thursday 20 December 2012

Kenapa Etnofotografi?

Sumber Foto: Tim Ekspedisi Bukit 30 Jambi Mapagama
Tak pelak pertanyaan itu muncul ketika beberapa orang mendengar rencana ini. Kenapa etnofotografi? Apa relevansinya dengan pencinta alam? Pertanyaan yang, jika memakai pemaknaan mayoritas orang tentang pencinta alam sekarang, terdengar sangat wajar. Saat ini, siapapun yang mendaki gunung sering diidentikkan dengan pencinta alam. Bahkan tak jarang para pendaki gunung itu sendiri yang mengidentikkan dirinya dengan pencinta alam, yang sayangnya hanya mereka maknai sebagai sekedar petualang. Karena itu kita miris ketika mendengar Gunung Semeru yang indah itu ditumpuki sampah ribuan pendaki dalam suatu acara pendakian yang begitu heboh dan gegap gempita. Bagi mayoritas orang, pendaki yang menebar sampah itu adalah pencinta alam, walau banyak dari mereka sebenarnya hanya sekedar ingin gagah-gagahan. Pencinta alam hanya jadi sebatas petualang yang penuh keberanian mendaki gunung, menjelajah hutan, berpacu dengan jeram, dan menatah-natah tebing sekian ratus meter.
Sesungguhnya pencinta alam mempunyai kode etik, yang mungkin tidak diketahui orang banyak. ‘Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber daya alam sesuai dengan kebutuhannya’ adalah salah satu butir kode etik itu. Pencinta alam menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai manusia dan kerabatnya. Semangat yang sama yang diucapkan Soe Hok-Gie, seorang pendaki gunung yang paling dikenang di Indonesia. “Dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman”, begitulah Hok-Gie pernah berkata.
Tapi, kenapa etnofotografi?
Seorang kawan dari kawan mengirim email tentang peranan pencinta alam. Dalam email itu ia sepakat mengenai bahasan pencinta alam berdasarkan buku penelitian tentang masyarakat Kalimantan berjudul “Friction” yang ditulis oleh seorang profesor antropologi di University of California bernama Anna Lowenhaupt Tsing. Disebutkan bahwa pencinta alam bersifat apolitis dan mempunyai tradisi eskapis, lari dari segala macam bentuk hingar bingar politik, dan hanya menyepi dan menyendiri di tengah hutan. Hok-Gie mulai mendaki gunung pun karena ingin menjauh dari hingar bingar politik saat itu.  Pada titik ini kita bisa berdebat dan berbeda pendapat, tapi apolitik tentu tidak sama dengan tidak peduli. Hok-Gie mungkin tidak peduli lagi dengan politik, tapi tentu dia peduli dengan alam dan masyarakat, karena itu ia sungguh tertarik dengan masyarakat di sekitar pegunungan, dengan gaya hidup dan pandangan mereka yang bersahaja tapi kerap penuh makna.
Kami memilih etnofotografi, khususnya etnofotografi dengan tradisi Marxian, karena itulah hal yang bisa kami lakukan untuk masyarakat. Berbeda dengan etnofotografi tradisi deskriptif, tradisi Marxian memandang setara respondennya. Tidak ada ekslusifitas dalam hal siapa yang dipotret dan siapa yang memotret, sebab metodologi yang kami pakai adalah Foto Sebagai Agensi. Foto yang dihasilkan hanya untuk pemicu dalam mengungkapkan hal-hal apapun dalam kehidupan masyarakat. Kajian kami adalah perubahan sosial yang terjadi setelah adanya jalan darat yang menuju desa Nanga Raun. Kami berharap, dengan etnofotografi ini bisa ditemukan hal-hal yang baik setelah adanya akses jalan darat yang dapat terus dilestarikan dan menjadi model pada masyarakat di tempat lain, sekaligus dapat menemukan hal-hal yang kurang baik yang dapat menjadi bahan kajian bagi pemegang kepentingan dalam pembuatan jalan.
Gerakan kami memang masih tetap apolitis, tapi bukan berarti kami tidak peduli. Sebagai bagian dari Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada yang berpegang kepada Tridharma Perguruan Tinggi, kami berusaha agar apa yang kami lakukan sejalan dengan kode etik pencinta alam dan tiga sendi Tridharma, sehingga kegiatan yang kami lakukan bermanfaat bagi kami, bagi alam, kebudayaan, dan terutama bagi masyarakat yang kami datangi. Kami tak ingin hanya sekedar mengeksploitasi masyarakat, tapi kami ingin berdialog dan memahami pandangan hidup mereka, tentang bagaimana mereka memandang  dan memanfaatkan alam yang memberi mereka penghidupan. Etnofotografi tradisi Marxian memberikan kemudahan dalam hal tersebut. Foto yang dihasilkan tak perlu indah, objek yang dipotret tak perlu eksotik, yang penting adalah dengan foto itu dapat memicu ingatan dan pandangan seseorang mengenai dirinya dan bagaimana ia memandang masyarakatnya sendiri.
Kami tak ingin sekedar dicap sebagai pencinta alam dengan makna seperti yang disematkan kepada ribuan pendaki Gunung Semeru yang gegap gempita. Kami ingin gerakan kami bermanfaat untuk keseimbangan dalam pengelolaan alam, siapapun pelakunya. Kami tak ingin sekedar mengambil, kami juga ingin menyumbangkan apa yang kami bisa dan mampu lakukan, yang semata-mata hanya untuk masyarakat, alam, dan kebudayaan.
Hok-Gie berkata ia naik gunung agar dekat dengan masyarakat. Kami berharap kami pun begitu.

Thursday 13 December 2012

Pada mulanya adalah Papua

Sumber foto: Roosusetyo

“Bapak, saya disuruh bapak haridong, maka kesini.”
“Loh, dimana bapak haridong?”
“Ada di Danau Larson bapak.”
Kagetlah Roosusetyo, seorang anggota Tim Pendaki Puncak Carstenz dari Mapagama.
“Kamu pulang sekarang, pak haridong suruh pulang.”
Rupanya sudah jauh betul rute yang ditempuh Hari Hardono, -disebut dengan panggilan haridong oleh porter tadi-, dari rencana rute penelitiannya. Seharusnya dari Beoga menuju Ilaga, tapi Hari Hardono menapaki jalan sampai 55 km dari Ilaga menuju Danau Larson. Peristiwa itu terjadi tahun 1984. Percakapan Roosusetyo dengan seorang porter itu terjadi di Lembah Danau-Danau, 2 hari perjalanan dari Danau Larson.
28 tahun kemudian sekelumit cerita itu masih segar di ingatan Roosusetyo. Dia adalah salah satu dari puluhan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang punya mimpi mendarmakan diri untuk masyarakat Indonesia. Tahun 1982 adalah awal mula mimpi itu, ketika Galunggung di Jawa Barat bangun dari tidurnya. Sekumpulan mahasiswa UGM tergerak untuk melakukan bakti sosial disana. Ikatan yang kuat diantara mereka yang terbentuk setelah bakti sosial itu membuat mereka merencanakan kegiatan yang lebih besar dan punya dampak positif untuk masyarakat. Acuan mereka adalah Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tahun 1984 Terbentuklah kegiatan Ekspedisi Gadjah Mada 1 yang mengambil tempat di Beoga, Ilaga, dan Puncak Carstenz di Pegunungan Sudirman, Papua (dulu bernama Irian Jaya).
Sumber foto: Roosusetyo
 
Mereka membagi diri menjadi 2 kelompok besar, yaitu Kelompok Peneliti Pegunungan Tropik dan Kelompok Peneliti Pegunungan Beriklim Alpin. Kelompok pertama mengambil tempat di Beoga dan Ilaga, yang merupakan distrik terdekat dari Puncak Carstenz. Kelompok kedua punya areal penelitian dari Ilaga sampai Puncak Carstenz. Tidak tanggung-tanggung, karena berasal dari disiplin ilmu yang beragam, 6 bidang penelitian dengan 21 sub penelitian mereka lakukan. Anak-anak muda ini memang punya asupan semangat dan energi berlebih, tak heran, mungkin karena begitu semangatnya, Hari Hardono meneliti vegetasi sampai Danau Larson yang bukan areal penelitiannya.
Di Beoga dan Ilaga, anggota tim dari Fakultas Sastra menerapkan ilmu antropologi yang didapat dari bangku kuliah. Penelitian etnografi mereka lakukan terhadap Suku Damal yang berada di Beoga dan Suku Dani yang berada di Ilaga. Tak sekedar meneliti, mereka juga melakukan pengabdian masyarakat. Pembuatan tembikar sebagai alat rumah tangga sederhana mereka lakukan. Untuk ini mereka sampai belajar dari para pembuat tembikar di Kasongan, Bantul. Bercocok tanam dan pengelolaan kolam ikan adalah jenis pengabdian masyarakat berikutnya yang mereka lakukan.
Sumber Foto : Tim Ekspedisi Gadjah Mada I
 
Di sinilah, di Papua, di tanah Suku Damal dan Suku Dani, mereka anak-anak muda yang percaya bahwa ilmu tak hanya didapat di bangku kuliah, meletakkan tonggak awal yang menjadi cetak biru kegiatan Mapagama selanjutnya. Bahwa bukan hanya petualangan yang mereka inginkan, tetapi lebih besar dari itu, adalah apa yang bisa mereka berikan kepada masyarakat Indonesia yang berdiam di puncak-puncak pegunungan, di tanah yang mengalir sungai tumpah darah mereka, di gua-gua tempat nenek moyang mereka bersemayam, di tebing-tebing tempat mereka meletakkan harapan. 28 tahun kemudian, tak ada yang lebih membanggakan seorang Roosusetyo ketika melihat Mapagama tetap memegang teguh Tridharma Perguruan Tinggi dalam setiap kegiatan mereka. Penelitian tentang Orang Rimba di Jambi, Dayak Punan dan Kayan di Kalimantan Timur, Suku Sasak di Lombok, Suku Mentawai di Siberut, dan sederet kegiatan lain yang terus melaju di 4 dasawarsa usia Mapagama.
Sekarang giliran kami yang yang ambil bagian dalam petualangan, penelitian, dan pengabdian Mapagama. Tak ada yang lebih menyenangkan ketika apa yang kami dapat di bangku kuliah dapat juga berguna bagi masyarakat Indonesia di daerah-daerah jauh. Kaki Pegunungan Muller di Kalimantan Barat menunggu kami. Tepat 28 tahun kemudian kami akan sama bangganya dengan seorang Roosusetyo ketika melihat generasi berikutnya tetap mempergunakan ilmunya untuk masyarakat, alam, dan kebudayaan Indonesia.
Pada mulanya, mimpi yang jadi nyata itu berawal dari Papua.


Mapagama dan Etnofotografi

Fotografi memegang peranan penting dalam budaya visual manusia. Di era yang serba cepat ini media gambar lebih mendapat tempat dibanding tulisan, sebab gambar adalah media yang lebih sederhana untuk dilihat. Hasil dokumentasi penelitian yang selama ini berkembang di masyarakat, khususnya Indonesia biasanya dianggap sebagai produk yang serius dan sulit untuk dipahami. Hal ini disebabkan karena hasil penelitian tersebut didominasi dalam bentuk tulisan. Berdasar hal tersebut maka kami tergerak mengadakan penelitian dengan media fotografi, agar hasil penelitian dapat lebih memasyarakat.
Penelitian etnofotografi ini mencoba memperkenalkan pada seluruh masyarakat luas tentang perubahan aspek sosial dan kultural sekelompok masyarakat Dayak Suru’ yang berada di Desa Sepan Padang, Provinsi Kalimantan Barat melalui etnofotografi. Etnofotografi merupakan pendekatan yang menggabungkan relevansi antara etnografi dan fotografi dalam melakukan studi antropologi. Etnofotografi dipilih karena media visual dianggap lebih mampu merepresentasikan realita.
Orang Dayak memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sungai, sebab sungai digunakan untuk mencari penghidupan dan sebagai akses transportasi. Tak heran jika hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti yang berhubungan dengan sungai, termasuk Dayak Suru’ Hulu dan Dayak Suru’ Hile, yang berdasarkan letak geografisnya berada di hulu dan hilir Sungai Manday. Perkembangan zaman membuat akses semakin mudah karena jalan darat dibangun untuk beberapa kepentingan, salah satunya untuk perkebunan dan produksi hasil hutan oleh pemerintah atau swasta. Akses yang makin mudah tentunya memicu terjadinya perubahan-perubahan sosial pada masyarakat Dayak Suru’ yang tinggal di Desa Sepan Padang. Kami ingin mendeskripsikan perubahan-perubahan tersebut melalui etnofotografi, karena dianggap lebih mampu diterima dan dinikmati oleh masyarakat secara lebih populer, sehingga masyarakat dapat mengetahui dan menarik manfaat dari cara suku Dayak Suru’ menyikapi perubahan .
            Bentang alam yang berbukit-bukit di kaki Pegunungan Muller juga menggugah rasa ingin tahu kami tentang gua-gua yang ada disana. Dari desa Sepan Padang perjalanan menuju gua-gua ini memakan waktu 1-2 hari dengan berjalan kami. Sebagai organisasi Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada yang berbasis penelitian, kami ingin mengaplikasikan ilmu kami untuk sesuatu yang berguna bagi dunia keilmuan, khususnya speleologi. Kami akan mengadakan survey permukaan, pendokumentasian eksokarst dan endokarst, serta melakukan pemetaan beberapa gua yang ada disana. Harapan kami, hasil kegiatan ini dapat menjadi sumbangan dalam ilmu pengetahuan, khususnya speleologi.