Sumber foto: Roosusetyo |
“Bapak, saya
disuruh bapak haridong, maka kesini.”
“Loh, dimana
bapak haridong?”
“Ada di Danau
Larson bapak.”
Kagetlah
Roosusetyo, seorang anggota Tim Pendaki Puncak Carstenz dari
Mapagama.
“Kamu pulang
sekarang, pak haridong suruh pulang.”
Rupanya sudah jauh
betul rute yang ditempuh Hari Hardono, -disebut dengan panggilan
haridong oleh porter tadi-, dari rencana rute penelitiannya.
Seharusnya dari Beoga menuju Ilaga, tapi Hari Hardono menapaki jalan
sampai 55 km dari Ilaga menuju Danau Larson. Peristiwa itu terjadi
tahun 1984. Percakapan Roosusetyo dengan seorang porter itu terjadi
di Lembah Danau-Danau, 2 hari perjalanan dari Danau Larson.
28 tahun kemudian
sekelumit cerita itu masih segar di ingatan Roosusetyo. Dia adalah
salah satu dari puluhan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang
punya mimpi mendarmakan diri untuk masyarakat Indonesia. Tahun 1982
adalah awal mula mimpi itu, ketika Galunggung di Jawa Barat bangun
dari tidurnya. Sekumpulan mahasiswa UGM tergerak untuk melakukan
bakti sosial disana. Ikatan yang kuat diantara mereka yang terbentuk
setelah bakti sosial itu membuat mereka merencanakan kegiatan yang
lebih besar dan punya dampak positif untuk masyarakat. Acuan mereka
adalah Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan
pengabdian masyarakat. Tahun 1984 Terbentuklah kegiatan Ekspedisi
Gadjah Mada 1 yang mengambil tempat di Beoga, Ilaga, dan Puncak
Carstenz di Pegunungan Sudirman, Papua (dulu bernama Irian Jaya).
Sumber foto: Roosusetyo |
Mereka membagi
diri menjadi 2 kelompok besar, yaitu Kelompok Peneliti Pegunungan
Tropik dan Kelompok Peneliti Pegunungan Beriklim Alpin. Kelompok
pertama mengambil tempat di Beoga dan Ilaga, yang merupakan distrik
terdekat dari Puncak Carstenz. Kelompok kedua punya areal penelitian
dari Ilaga sampai Puncak Carstenz. Tidak tanggung-tanggung, karena
berasal dari disiplin ilmu yang beragam, 6 bidang penelitian dengan
21 sub penelitian mereka lakukan. Anak-anak muda ini memang punya
asupan semangat dan energi berlebih, tak heran, mungkin karena
begitu semangatnya, Hari Hardono meneliti vegetasi sampai Danau
Larson yang bukan areal penelitiannya.
Di Beoga dan
Ilaga, anggota tim dari Fakultas Sastra menerapkan ilmu antropologi
yang didapat dari bangku kuliah. Penelitian etnografi mereka lakukan
terhadap Suku Damal yang berada di Beoga dan Suku Dani yang berada di
Ilaga. Tak sekedar meneliti, mereka juga melakukan pengabdian
masyarakat. Pembuatan tembikar sebagai alat rumah tangga sederhana
mereka lakukan. Untuk ini mereka sampai belajar dari para pembuat
tembikar di Kasongan, Bantul. Bercocok tanam dan pengelolaan kolam
ikan adalah jenis pengabdian masyarakat berikutnya yang mereka
lakukan.
Sumber Foto : Tim Ekspedisi Gadjah Mada I |
Di sinilah, di
Papua, di tanah Suku Damal dan Suku Dani, mereka anak-anak muda yang
percaya bahwa ilmu tak hanya didapat di bangku kuliah, meletakkan
tonggak awal yang menjadi cetak biru kegiatan Mapagama selanjutnya.
Bahwa bukan hanya petualangan yang mereka inginkan, tetapi lebih
besar dari itu, adalah apa yang bisa mereka berikan kepada masyarakat
Indonesia yang berdiam di puncak-puncak pegunungan, di tanah yang
mengalir sungai tumpah darah mereka, di gua-gua tempat nenek moyang
mereka bersemayam, di tebing-tebing tempat mereka meletakkan harapan.
28 tahun kemudian, tak ada yang lebih membanggakan seorang Roosusetyo
ketika melihat Mapagama tetap memegang teguh Tridharma Perguruan
Tinggi dalam setiap kegiatan mereka. Penelitian tentang Orang Rimba
di Jambi, Dayak Punan dan Kayan di Kalimantan Timur, Suku Sasak di
Lombok, Suku Mentawai di Siberut, dan sederet kegiatan lain yang
terus melaju di 4 dasawarsa usia Mapagama.
Sekarang giliran
kami yang yang ambil bagian dalam petualangan, penelitian, dan
pengabdian Mapagama. Tak ada yang lebih menyenangkan ketika apa yang
kami dapat di bangku kuliah dapat juga berguna bagi masyarakat
Indonesia di daerah-daerah jauh. Kaki Pegunungan Muller di Kalimantan
Barat menunggu kami. Tepat 28 tahun kemudian kami akan sama bangganya
dengan seorang Roosusetyo ketika melihat generasi berikutnya tetap
mempergunakan ilmunya untuk masyarakat, alam, dan kebudayaan
Indonesia.
Pada mulanya,
mimpi yang jadi nyata itu berawal dari Papua.
No comments:
Post a Comment