Pages

Thursday, 13 December 2012

Pada mulanya adalah Papua

Sumber foto: Roosusetyo

“Bapak, saya disuruh bapak haridong, maka kesini.”
“Loh, dimana bapak haridong?”
“Ada di Danau Larson bapak.”
Kagetlah Roosusetyo, seorang anggota Tim Pendaki Puncak Carstenz dari Mapagama.
“Kamu pulang sekarang, pak haridong suruh pulang.”
Rupanya sudah jauh betul rute yang ditempuh Hari Hardono, -disebut dengan panggilan haridong oleh porter tadi-, dari rencana rute penelitiannya. Seharusnya dari Beoga menuju Ilaga, tapi Hari Hardono menapaki jalan sampai 55 km dari Ilaga menuju Danau Larson. Peristiwa itu terjadi tahun 1984. Percakapan Roosusetyo dengan seorang porter itu terjadi di Lembah Danau-Danau, 2 hari perjalanan dari Danau Larson.
28 tahun kemudian sekelumit cerita itu masih segar di ingatan Roosusetyo. Dia adalah salah satu dari puluhan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang punya mimpi mendarmakan diri untuk masyarakat Indonesia. Tahun 1982 adalah awal mula mimpi itu, ketika Galunggung di Jawa Barat bangun dari tidurnya. Sekumpulan mahasiswa UGM tergerak untuk melakukan bakti sosial disana. Ikatan yang kuat diantara mereka yang terbentuk setelah bakti sosial itu membuat mereka merencanakan kegiatan yang lebih besar dan punya dampak positif untuk masyarakat. Acuan mereka adalah Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Tahun 1984 Terbentuklah kegiatan Ekspedisi Gadjah Mada 1 yang mengambil tempat di Beoga, Ilaga, dan Puncak Carstenz di Pegunungan Sudirman, Papua (dulu bernama Irian Jaya).
Sumber foto: Roosusetyo
 
Mereka membagi diri menjadi 2 kelompok besar, yaitu Kelompok Peneliti Pegunungan Tropik dan Kelompok Peneliti Pegunungan Beriklim Alpin. Kelompok pertama mengambil tempat di Beoga dan Ilaga, yang merupakan distrik terdekat dari Puncak Carstenz. Kelompok kedua punya areal penelitian dari Ilaga sampai Puncak Carstenz. Tidak tanggung-tanggung, karena berasal dari disiplin ilmu yang beragam, 6 bidang penelitian dengan 21 sub penelitian mereka lakukan. Anak-anak muda ini memang punya asupan semangat dan energi berlebih, tak heran, mungkin karena begitu semangatnya, Hari Hardono meneliti vegetasi sampai Danau Larson yang bukan areal penelitiannya.
Di Beoga dan Ilaga, anggota tim dari Fakultas Sastra menerapkan ilmu antropologi yang didapat dari bangku kuliah. Penelitian etnografi mereka lakukan terhadap Suku Damal yang berada di Beoga dan Suku Dani yang berada di Ilaga. Tak sekedar meneliti, mereka juga melakukan pengabdian masyarakat. Pembuatan tembikar sebagai alat rumah tangga sederhana mereka lakukan. Untuk ini mereka sampai belajar dari para pembuat tembikar di Kasongan, Bantul. Bercocok tanam dan pengelolaan kolam ikan adalah jenis pengabdian masyarakat berikutnya yang mereka lakukan.
Sumber Foto : Tim Ekspedisi Gadjah Mada I
 
Di sinilah, di Papua, di tanah Suku Damal dan Suku Dani, mereka anak-anak muda yang percaya bahwa ilmu tak hanya didapat di bangku kuliah, meletakkan tonggak awal yang menjadi cetak biru kegiatan Mapagama selanjutnya. Bahwa bukan hanya petualangan yang mereka inginkan, tetapi lebih besar dari itu, adalah apa yang bisa mereka berikan kepada masyarakat Indonesia yang berdiam di puncak-puncak pegunungan, di tanah yang mengalir sungai tumpah darah mereka, di gua-gua tempat nenek moyang mereka bersemayam, di tebing-tebing tempat mereka meletakkan harapan. 28 tahun kemudian, tak ada yang lebih membanggakan seorang Roosusetyo ketika melihat Mapagama tetap memegang teguh Tridharma Perguruan Tinggi dalam setiap kegiatan mereka. Penelitian tentang Orang Rimba di Jambi, Dayak Punan dan Kayan di Kalimantan Timur, Suku Sasak di Lombok, Suku Mentawai di Siberut, dan sederet kegiatan lain yang terus melaju di 4 dasawarsa usia Mapagama.
Sekarang giliran kami yang yang ambil bagian dalam petualangan, penelitian, dan pengabdian Mapagama. Tak ada yang lebih menyenangkan ketika apa yang kami dapat di bangku kuliah dapat juga berguna bagi masyarakat Indonesia di daerah-daerah jauh. Kaki Pegunungan Muller di Kalimantan Barat menunggu kami. Tepat 28 tahun kemudian kami akan sama bangganya dengan seorang Roosusetyo ketika melihat generasi berikutnya tetap mempergunakan ilmunya untuk masyarakat, alam, dan kebudayaan Indonesia.
Pada mulanya, mimpi yang jadi nyata itu berawal dari Papua.


No comments:

Post a Comment