Sumber Foto: Tim Ekspedisi Bukit 30 Jambi Mapagama |
Tak pelak
pertanyaan itu muncul ketika beberapa orang mendengar rencana ini. Kenapa
etnofotografi? Apa relevansinya dengan pencinta alam? Pertanyaan yang, jika
memakai pemaknaan mayoritas orang tentang pencinta alam sekarang, terdengar
sangat wajar. Saat ini, siapapun yang mendaki gunung sering diidentikkan dengan
pencinta alam. Bahkan tak jarang para pendaki gunung itu sendiri yang
mengidentikkan dirinya dengan pencinta alam, yang sayangnya hanya mereka maknai
sebagai sekedar petualang. Karena itu kita miris ketika mendengar Gunung Semeru
yang indah itu ditumpuki sampah ribuan pendaki dalam suatu acara pendakian yang
begitu heboh dan gegap gempita. Bagi mayoritas orang, pendaki yang menebar
sampah itu adalah pencinta alam, walau banyak dari mereka sebenarnya hanya
sekedar ingin gagah-gagahan. Pencinta alam hanya jadi sebatas petualang yang
penuh keberanian mendaki gunung, menjelajah hutan, berpacu dengan jeram, dan
menatah-natah tebing sekian ratus meter.
Sesungguhnya
pencinta alam mempunyai kode etik, yang mungkin tidak diketahui orang banyak.
‘Memelihara alam beserta isinya serta menggunakan sumber daya alam sesuai
dengan kebutuhannya’ adalah salah satu butir kode etik itu. Pencinta alam
menghormati tata kehidupan yang berlaku pada masyarakat sekitar serta menghargai
manusia dan kerabatnya. Semangat yang sama yang diucapkan Soe Hok-Gie, seorang
pendaki gunung yang paling dikenang di Indonesia. “Dengan olahraga mendaki
gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman”, begitulah Hok-Gie pernah
berkata.
Tapi, kenapa
etnofotografi?
Seorang kawan
dari kawan mengirim email tentang peranan pencinta alam. Dalam email itu ia
sepakat mengenai bahasan pencinta alam berdasarkan buku penelitian tentang
masyarakat Kalimantan berjudul “Friction” yang ditulis oleh seorang profesor
antropologi di University of California bernama Anna Lowenhaupt Tsing.
Disebutkan bahwa pencinta alam bersifat apolitis dan mempunyai tradisi eskapis,
lari dari segala macam bentuk hingar bingar politik, dan hanya menyepi dan
menyendiri di tengah hutan. Hok-Gie mulai mendaki gunung pun karena ingin
menjauh dari hingar bingar politik saat itu.
Pada titik ini kita bisa berdebat dan berbeda pendapat, tapi apolitik
tentu tidak sama dengan tidak peduli. Hok-Gie mungkin tidak peduli lagi dengan
politik, tapi tentu dia peduli dengan alam dan masyarakat, karena itu ia
sungguh tertarik dengan masyarakat di sekitar pegunungan, dengan gaya hidup dan
pandangan mereka yang bersahaja tapi kerap penuh makna.
Kami memilih
etnofotografi, khususnya etnofotografi dengan tradisi Marxian, karena itulah
hal yang bisa kami lakukan untuk masyarakat. Berbeda dengan etnofotografi
tradisi deskriptif, tradisi Marxian memandang setara respondennya. Tidak ada
ekslusifitas dalam hal siapa yang dipotret dan siapa yang memotret, sebab
metodologi yang kami pakai adalah Foto Sebagai Agensi. Foto yang dihasilkan
hanya untuk pemicu dalam mengungkapkan hal-hal apapun dalam kehidupan
masyarakat. Kajian kami adalah perubahan sosial yang terjadi setelah adanya
jalan darat yang menuju desa Nanga Raun. Kami berharap, dengan etnofotografi
ini bisa ditemukan hal-hal yang baik setelah adanya akses jalan darat yang dapat terus dilestarikan
dan menjadi model pada masyarakat di tempat lain, sekaligus dapat menemukan
hal-hal yang kurang baik yang dapat menjadi bahan kajian bagi pemegang
kepentingan dalam pembuatan jalan.
Gerakan kami
memang masih tetap apolitis, tapi bukan berarti kami tidak peduli. Sebagai
bagian dari Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada yang berpegang
kepada Tridharma Perguruan Tinggi, kami berusaha agar apa yang kami lakukan
sejalan dengan kode etik pencinta alam dan tiga sendi Tridharma, sehingga
kegiatan yang kami lakukan bermanfaat bagi kami, bagi alam, kebudayaan, dan
terutama bagi masyarakat yang kami datangi. Kami tak ingin hanya sekedar
mengeksploitasi masyarakat, tapi kami ingin berdialog dan memahami pandangan
hidup mereka, tentang bagaimana mereka memandang dan memanfaatkan alam yang memberi mereka
penghidupan. Etnofotografi tradisi Marxian memberikan kemudahan dalam hal
tersebut. Foto yang dihasilkan tak perlu indah, objek yang dipotret tak perlu
eksotik, yang penting adalah dengan foto itu dapat memicu ingatan dan pandangan
seseorang mengenai dirinya dan bagaimana ia memandang masyarakatnya sendiri.
Kami tak ingin
sekedar dicap sebagai pencinta alam dengan makna seperti yang disematkan kepada
ribuan pendaki Gunung Semeru yang gegap gempita. Kami ingin gerakan kami
bermanfaat untuk keseimbangan dalam pengelolaan alam, siapapun pelakunya. Kami
tak ingin sekedar mengambil, kami juga ingin menyumbangkan apa yang kami bisa
dan mampu lakukan, yang semata-mata hanya untuk masyarakat, alam, dan
kebudayaan.
Hok-Gie berkata
ia naik gunung agar dekat dengan masyarakat. Kami berharap kami pun begitu.