Nanga Raun, tak banyak yang
mengenal desa terpencil di pedalaman Kalimantan ini. Mungkin hanya mereka yang
mendalami sejarah dan antropologi yang akrab dengan desa yang dihuni mayoritas
etnis Dayak Orung Da’an ini. Bahwa desa yang pernah menyimpan sejarah rumah
panjang suku Dayak yang terpanjang di Kalimantan itu, tak banyak pula orang
yang tahu. Anton Willem Nieuwenhuis, seorang dokter yang berdinas pada Tentara
Hindia Belanda mencatatnya di tahun 1894. Nieuwenhuis bukan hanya seorang
dokter Tentara Hindia Belanda, melainkan juga seorang peneliti antropologi dan
etnografi yang di kemudian hari melakukan tiga ekspedisi besar menyusuri sungai
Mahakam. Dua bulan ia berdiam di Nanga Raun untuk melakukan penelitian
etno-sosiologis, salah satu sub penelitian eksplorasi ilmiah Borneo Tengah yang
digagas oleh Maatschappij ter bevordering van het natuurkundig onderzoek der
Nederlandsche Kolonien [Perhimpunan untuk Memajukan Penelitian Alam di
Koloni-koloni Belanda] di Amsterdam. Selain Nieuwenhuis, ekspedisi pertama ini
diikuti oleh Johann Buttikofer yang juga meneliti etno-sosiologis, Hallier, dan
GAF Molengraaff yang melakukan survey geologi. Pemimpin ekspedisi adalah
Kontrolir Kapuas Hulu van Velthuysen. Ekspedisi ini juga terdiri atas 19
prajurit Hindia Belanda, 5 kuli Melayu, 8 orang Iban Batang Lupar selaku
pembantu khusus kontrolir dan 85 orang Dayak Kayan dari Sungai Mendalam sebagai
awak perahu dan pemikul barang. Di ekspedisi kedua dan ketiga susunan anggota
ekspedisi berubah-ubah. Ekspedisi-ekspedisi ini menghasilkan peta-peta akurat,
yang merupakan keahlian kartografer bangsa Belanda, kajian-kajian linguistik,
dan khasanah informasi etnografi dan sejarah mengenai suku Dayak setempat. Bisa
dikatakan, Nieuwenhuis dan ekspedisi-ekspedisinya berjasa besar kepada dunia
antropologi mengenai suku Dayak di Kalimantan.
Sumber foto: www.hellenicaworld.com |
Satu abad kemudian tak ada lagi
rumah panjang terpanjang di Nanga Raun seperti yang dicatat oleh ekspedisi
Nieuwenhuis. Rumah itu hanya menyisakan bekas-bekas kayu yang terbakar. Seperti
yang termuat dalam artikel Reynold Sumayku di Life & Natural History, rumah
panjang tersebut terbakar di tahun 1964. Amarah salah satu warga menyebabkan
dirinya gelap mata dan membakar salah satu bilik yang dengan cepat menjalar ke
bilik lain. Kini tak ada lagi rumah panjang disana. Rumah penduduk sekarang dibangun
terpisah tiap keluarga.
Akses menuju desa ini cukup
berliku. Jika perjalanan dimulai dari Pontianak, ibukota provinsi Kalimantan
Barat, waktu tempuh yang diperlukan menuju Putussibau, ibukota kabupaten Kapuas
Hulu adalah 1 jam perjalanan jika memakai pesawat. Jika betah duduk
berlama-lama, transportasi darat menyediakan bis dan taksi, -yang disebut taksi
disini adalah kendaraan minivan-, sebab waktu tempuh akan berlangsung selama 16
jam. Setiba di Putussibau, perjalanan dilanjutkan menuju Nanga Kalis, ibukota
kecamatan Kalis, selama 2 jam, lalu dilanjut menghiliri Sungai Manday selama
1-1,5 jam. Setelah perjalanan berjam-jam itu barulah kita sampai ke desa Nanga
Raun. Bagi yang mau melanjutkan perjalanan menuju gua-gua di perbukitan kaki
Pegunungan Muller, sediakan waktu sehari lagi untuk berjalan kaki, sebab tak
ada kendaraan yang bisa melewati jalan menuju lokasi gua.
Susahnya akses menuju desa ini
justru memacu semangat kami untuk bertukar cerita dengan penduduk Nanga Raun.
Tak ada keinginan muluk untuk mengulangi ekspedisi Nieuwenhuis, kami hanya
ingin mendengar cerita tentang penduduk langsung dari mereka sendiri. Penelitian
etnofotografi yang akan kami lakukan hanya akan menangkap pendapat mereka,
terkait perubahan jaman yang menyebabkan mulai terbukanya akses menuju desa
Nanga Raun. Baik dan buruk pengaruh dari luar desa tentu akan terbawa seiring
mudahnya akses menuju desa. Bagaimana penduduk menyikapinya, itulah yang
penting bagi kami.
Sumber tulisan:
http://pustaka45.blogspot.com
http://reynoldsumayku.com/