Foto: Ekspedisi Bahau Mapagama 1993 |
“Dibalik yang nampak dari sebuah foto, kita perlu menyadari bahwa secara bersamaan ada yang tak nampak disana. Yang tak nampak dan tak terlihat itulah yang sebenarnya membuat sesuatu jadi terlihat.”
Begitulah
Maurice Merleau-Ponty, seorang phenomenological philosopher dari Perancis pernah
berkata. Pernyataan itu memang membingungkan sekaligus menggugah rasa ingin
tahu. Entah bagaimana sesuatu yang tak nampak dapat membuat sesuatu yang lain
jadi terlihat.
Ilmu
sosial kontemporer, yang mulai marak sekitar tahun 1970-an dapat menjelaskan
hal itu. Awal mulanya seni fotografi hanya dianggap seni kelas 2 dan ditujukan salah satunya untuk seni lukis.
Perkembangannya fotografi akhirnya mendapat kedudukan penting karena dapat
menjelaskan suatu peristiwa dengan gambar. Etnografi yang haus akan
penggambaran deskriptif akhirnya menggunakan fotografi untuk membantu
penggambaran objek penelitian. Itulah ketika etnografi visual mulai muncul dan
menjadi turunan dalam etnografi. Etnofotografi sendiri adalah salah satu bentuk
dalam etnografi visual.
Ketika
seseorang memotret, pilihan atas apa yang dipotret merupakan suatu konstruksi
budaya, yang terbuktikan dari apa yang tidak dipotretnya. Konstruksi itu
merupakan suatu pembacaan atas peristiwa, yang intuitif dan berlangsung cepat
sekali, memutuskan dengan segera pilihan atas obyeknya. Pilihan ini akan sangat
ditentukan oleh situasi sosial dan kehidupan pemotret, yang merupakan suatu
argumen, suatu pengalaman, suatu cara menjelaskan dunia (Ajidarma, 2001). Dari
penjelasan panjang Seno Gumira Ajidarma tersebut kita dapat menarik kesimpulan
bahwa pemotret merupakan sosok penting dan berkuasa dalam menghasilkan foto.
Dia dapat menentukan mana yang hendak ia abadikan dengan foto dan mana yang
tidak. Subyektifitasnya dalam menentukan hal tersebut ditentukan oleh situasi
sosial dan kehidupannya, dan karena itu foto yang dihasilkannya bersifat
ekslusif, karena hanya menjelaskan apa yang sebenarnya ada di pikiran si
pemotret ketika mengambil foto tersebut.
Kembali
ke soal ilmu sosial kontemporer yang dapat menjelaskan pernyataan Merleau-Ponty,
tahun 1970-an adalah tahun ketika tatanan dunia etnofotografi yang ekslusif
“digugat” oleh para pemikir yang terpengaruh tradisi Marx, yang lebih
menekankan kepada pentingnya kaum marjinal. Dalam dunia etnofotografi sendiri
mulai dilakukan pendekatan lain dalam pengambilan data. Media yang digunakan
tetap foto, tetapi pendekatan dalam penelitian subyek tidak lagi menggunakan
tradisi deskriptif, yaitu tradisi yang memberi kuasa penuh kepada pemotret
untuk mengambil foto dan menjelaskan foto tersebut, tetapi menggunakan tradisi
Marxian, yang menganggap suara dari subyek yang difoto lebih penting dari suara
pemotret sendiri. Pada akhirnya, merekalah yang menjelaskan diri dan lingkungan
mereka sendiri. Metodologi yang sering digunakan dalam etnofotografi tradisi
Marxian adalah Foto Sebagai Agensi. Prakteknya seperti ini: pemotret memotret
dan foto yang dihasilkan digunakan sebagai pemicu obyek untuk menceritakan
dirinya dan lingkungannya. Pemotretnya bisa siapa saja, peneliti ataupun obyek
yang diteliti. Foto adalah stimulan untuk Spectator (Pemandang foto). Dari foto
itulah diharapkan mengalir cerita-cerita yang mengendap di ingatan Pemandang
foto.
Dalam
sebuah foto terdapat studium dan punctum. Adapun studium adalah suatu kesan
keseluruhan yang akan mendorong seorang Pemandang segera memutuskan sebuah foto
bersifat politis atau historis, indah dan tak-indah, yang sekaligus juga
mengakibatkan reaksi suka atau tidak suka. Semua ini terletak dalam aspek
studium sebuah foto, aspek yang membungkus sebuah foto secara menyeluruh.
Sebaliknya adalah punctum, yakni fakta terinci dalam sebuah foto yang menarik
dan menuntut perhatian Pemandang, ketika memandangnya secara kritis, tanpa
mempedulikan studium, selain memang karena punctum ini akan menyeruak studium.
Dalam punctum itulah terjelaskan mengapa seseorang terus menerus memandang atau
mengingat sebuah foto (Kisah Mata, 2001).
Dalam
etnofotografi tradisi Marxian, punctum inilah yang hendak dicapai oleh
peneliti. Rincian cerita yang hendak dipancing keluar karena melihat foto. Dari
punctum itu, diharapkan cerita yang tak ada dalam foto dapat terpicu keluar.
Itulah ketika yang tak nampak dan tak terlihat membuat sesuatu jadi terlihat.
Berhubungan
dengan penelitian kami sendiri, yaitu etnofotografi Dayak Orung Da’an dan Dayak
Suru’, metodologi Foto Sebagai Agensi ini akan kami gunakan untuk mendapatkan
cerita-cerita tentang diri mereka, dan bagaimana mereka menjelaskan diri dan
lingkungan mereka sendiri. Timeline yang kami gunakan adalah kehidupan
masyarakat Dayak Orung Da’an dan Dayak Suru’ sebelum dan sesudah adanya jalan
darat yang dibuka oleh perusahaan HPH. Hal ini menarik, karena sebelum ada
jalan darat, praktis sungai adalah sarana transportasi satu-satunya. Bagaimana
kemudian jalan darat merubah pola hidup mereka, positif maupun negatif.
Prakteknya,
kami akan melakukan observasi partisipatif, yaitu ikut serta dalam kegiatan
sehari-hari responden dan sekaligus memotret mereka. Dari foto-foto yang
dihasilkan kemudian dipilih beberapa foto yang akan digunakan sebagai agensi
dalam mendapatkan data. Responden memilih satu foto, dan dari foto itu digali
cerita yang nampak dan tak nampak dalam foto, seperti kenapa responden memilih
foto itu dan kenapa responden tidak memilih foto yang lain.
Harapan
kami, hasil penelitian ini dapat mengungkapkan suara-suara dari masyarakat
Dayak Orung Da’an dan Dayak Suru’, dan bisa jadi pertimbangan dalam kebijakan
pembangunan.